Jangan Menganggap Diri Anda Suci

Jangan Menganggap Diri Anda Suci

Jangan mengatakan tentang sesuatu yang seolah Anda ingin dianggap suci oleh orang lain dan jangan mengungkit-ungkit kebaikan Anda kepada mereka, kecuali dalam keadaan terpaksa.

“Jangan mengatakan diri kalian suci.” (QS. An-Najm : 32)

“Jangan engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Mudatstsir: 6)

“Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap diri mereka suci? Sebenarnya Allah mensucikan orang yang Dia kehendaki dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa: 49)

Miqdad r.a berkata,

“Rasulullah SAW menyuruh kita untuk menaburkan debu ke wajah orang-orang yang suka memuji.” (HR. Muslim)

Seseorang memuji orang lain dihadapan Rasulullah SAW, lalu beliau berkata, “Celakalah engkau, engkau telah memenggal leher temanmu! (Belian mengatakannya berulang-ulang) Jika seseorang harus memuji, katakanlah, ‘Menurutku begini dan begini’, jika dia melihat (orang yang dupuji) seperti itu. Dan Allah yang berhak menilai dia. Jangan mensucikan seseorang seolah engkau lebih tahu dari Allah tentang orang itu.(HR. Bukhari dan Muslim)

Pujian Anda atas diri sendiri membuat orang lain tidak suka kepada Anda. Masyarakat pasti tidak suka dengan orang yang membanggakan dirinya. Namun, jika Anda dalam kondisi di mana Anda harus memuji diri sendiri, maka lakukanlah sekadarnya.

Yusuf a.s berkata, “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55) Dan memang benar, Yusuf a.s adalah orang yang pandai menjaga harta di kala musim paceklik melanda dan dia tahu bagaimana membuat kebijakan, dengan izin Allah.

Rasulullah SAW berkata kepada orang-orang Anshar, “Bukankah kalian dulu sesat, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada kalian melalui aku. Dulu kalian saling bermusuhan, kemudian Allah menyatukan hati kalian melalui aku. Dan dulu kalian miskin, lalu Allah membuat kalian kaya melalui aku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Anda boleh membersihkan diri dari dugaan-dugaan negatif, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Hub a.s, “Wahai kaumku, aku tidak meminta upah dari kalian atas apa yang aku lakukan. Upahku hanya (aku harapkan) dari Zat yang menciptakan aku. Apakah kalian tidak berfikir?” (QS. Hud: 51)

Nabi-Nabi a.s yang lain juga pernah berkata seperti apa yang dilakukan oleh Hud a.s. Nabi Syu’aib a.s berkata kepada kaumnya, “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (QS. Hud: 88)

Etika Menjawab

Dari Aisyah r.a, “Hindun binti Utbha datang lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, dulu, di muka bumi ini tidak ada keluarga yang paling aku inginkan untuk menjadi hina dari keluargamu. Tapi pada hari ini, di muka bumi ini tidak ada keluarga yang paling aku inginkan agar menjadi mulia dari keluargamu.’ Belian menjawab, ‘Dan juga (aidhan), demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya.'” Jawaban Rasulullah “juga (aidhan)” mengandung kemungkinan dan tidak memiliki arti yang jelas.

Dalam konteks ini, menggunakan jawaban yang mengandung kemungkinan adalah lebih baik. Alasannya, di kalangan orang-orang musyrik ada orang yang lebih memusuhi Rasulullah daripada Hindun. Hindun pun, setelah masuk Islam, bukan orang yang paling dicintai oleh Rasulullah dan keluarganya pun bukan keluarga yang paling mulia di mata Rasulullah. Hanya saja Hindun telah mengatakan sesuatu yang harus dijawab dengan seimbang sesuai dengan ucapannya itu. Oleh karena itu, Rasulullah menjawab dengan “juga (aidhan)”. Dan jawaban beliau menggunakan kata ini dipahami oleh Hindun bahwa dirinya memiliki kedudukan yang sama di hati Rasulullah, walau itu tidak dikatakan dengan jelas.” (HR. Bukhari)

Etika Menolak

Rasulullah SAW menyebut 70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan kata beliau mereka adalah, “Orang-orang yang tidak pesimis, tidak membanggakan diri, tidak meminta-minta pada orang lain dan mereka adalah orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan mereka.” Mendengar itu, Ukasyah ibn Muhshan berdiri dan bertanya, “Apakah aku termasuk mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya.” Kemudian yang lain pun bertanya, “Apakah aku termasuk mereka (dalam riwayat lain, ‘Doakanlah agar aku termasuk mereka’) ?” Beliau menjawab, “Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (HR. Bukhari)

Dari Sahal ibn Sa’ad r.a, “Rasulullah pernah diberi minuman dan beliau meminumnya. Di sisi kanan beliau ada seorang anak kecil dan di sisi kiri beliau ada beberapa orang tua. Rasulullah berkata kepada anak kecil itu, ‘Apakah engkau mengizinkan aku memberi minuman ini kepada mereka (orang-orang tua)?’ Anak kecil itu menjawab, ‘Demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak akan memberikan bagianku dari engkau kepada seorang pun.'” (HR. Bukhari)

Anak kecil ini menolak izin Rasulullah tidak dengan kata, “Aku tidak mengizinkan,” tapi dia menggunakan kata-kata yang menunjukkan rasa cintanya kepada Rasulullah. Ini penolakan yang melahirkan rasa cinta.

Berbicara dengan Masyarakat

Pembicaraan kadangkala disampaikan kepada masyarakat umum agar manfaatnya merata. Namun ada pula pembicaraan yang tidak harus dikatakan kepada mereka. Dari Marwan ibn Hakam dan Musawir ibn Makhramah, “Pernah Rasulullah SAW berdiri ketika rombongan dari Hawazin datang kepada beliau dengan menyerah. Mereka meminta beliau untuk mengembalikan harta-harta dan kawan-kawan mereka yang ditawan. Kemudia Rasulullah berkata kepada mereka, ‘Ucapan yang paling aku suka adalah ucapan yang paling benar. Pilih saja salah satunya: tawanan atau harta.’ Aku dekat dengan mereka dan Rasulullah memberi kesempatan kepada mereka selama belasan hari sampai beliau kembali dari Thaif. Ketika mereka sadar bahwa Rasulullah hanya akan mengembalikan salah satu dari harta atau tawanan, maka mereka memilih kawan-kawan mereka yang ditawan. Kemudian Rasulullah berdiri di tengah kaum muslimin, memuji Allah dengan pujian yang pantas bagi-Nya dan berkata, ‘Amma Ba’du, saudara-saudara kalian ini datang kepada kita dalam keadaan bertibat dan aku ingin mengembalikan tawanan kepada mereka. Barangsiapa di antara kalian yang dengan senang hati mengembalikan tawanan kepada mereka, lakukanlah! Barangsiapa ingin tetap mendapatkan bagiannya, silahkan! Dan kami akan memberikan jatahnya dari harta yang telah Allah limpahkan kepada kita sejak awal.’ Masyarakat ketika itu berkata, ‘Urusan ini kami serahkan sepenuhnya kepada Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Kami tidak tahu, siapa-siapa yang mengizinkan dalam hal ini dan siapa-siapa yang tidak mengizinkan. Pulanglah kalian, hingga wakil-wakil kalian melaporkan kepada kami tentang keputusan kalian.’ Masyarakat pulgn dan wakil-wakil mereka memberikan pengertian kepada mereka. Kemudian mereka kembali kepada Rasulullah dan mengabarkan bahwa mereka rela dan mengizinkan (menyerahkan para tawanan kepada orang-orang Hawazin).” (HR. Bukhari)